Refleksi Kehidupan

‘sarimin pergi ke pasar’

seekor monyet membawa keranjang hendak pergi ke pasar (flickr.com)

Ya, kata-kata itu mungkin sudah tidak asing lagi di telinga anda, saat melihat pertunjukan seni doger/topeng monyet, baik pertujunkan keliling, festival budaya atau mungkin di persimpangan-persimpangan jalan. Monyet-monyet yang telah dilatih itu dipandu oleh sang pawang untuk menirukan aktifitas manusia diiringi ritme irama musik yang khas. Sebagian dari anda akan merasa terhibur melihat tingkah laku  sang monyet atau merasa kasihan ketika melihat sang pawang menarik paksa tali besi di leher sang monyet.

Bila dilihat selayang pandang fenomena pergi ke pasar atau naik sepeda motor oleh ‘Sarimin’ adalah hal yang biasa saja, tapi pernahkah terpikir dalam benak anda, seni doger monyet bisa dianalogikan untuk mencerminkan kehidupan manusia zaman sekarang beserta budaya boros yang mengekang kehidupan manusia ?

Seekor monyet dikekang lehernya oleh pawang, lalu diharuskan melakukan berbagai tindakan yang sebenarnya tidak ia mengerti, sang monyet dilatih agar terbiasa untuk melakukan apa diperintahkan, kemudian sang pawang memberi upah, atau kadang memberi hukuman fisik yang cukup ‘sadis’ bila ia tidak mau menurut.

Manusia modern terkekang oleh pola hidup boros, dan tidak ada daya untuk melawan itu dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan, iklan-iklan produk yang ditawarkan ‘memaksa’ manusia untuk menggunakan produk tersebut walau mereka tidak membutuhkannya. Manusia modern mungkin sama seperti monyet, tidak tahu makna terhadap apa yang mereka lakukan, mencari kesenangan semu dan terbiasa akan hal itu. Manusia seakan merasa terasingkan atau dikatai ‘ketinggalan zaman’ bila tidak menggunakan suatu produk terbaru, walau tidak  langsung dihukum secara fisik tapi secara tidak langsung terkucilkan dari lingkungan yang kekinian (pengguna produk).

Kita juga tidak bisa mengacuhkan ucapan sang pawang yang mengatakan ‘Sarimin pergi ke pasar’, lalu sang monyet pun secara spontan mengambil payung dan membawa keranjang belanja, mengapa kita tidak pernah mendengar ‘Sarimin pergi menabung’ atau ‘Sarimin pergi ke PMI’ ? seakan-akan tempat yang hanya dituju oleh ‘Sarimin’ itu hanyalah pasar, tempat kemungkinan besar kita menggunakan uang.  Manusia modern digiring untuk memasuki suatu perilaku yang memungkinkan mereka untuk bersikap konsumtif/boros.

Sarimin’ biasanya memainkan alat musik atau memainkan motor mainan, bila kita bandingkan dengan potret remaja kita yang dipengaruhi oleh budaya luar yang lebih menyukai kesenangan (hedonisme), gitar bisa dijadikan suatu simbol dunia hiburan, yang memang sangat digandrungi oleh banyak anak muda saat ini sampai mereka kehilangan kendali atas diri mereka, ditambah dengan motor yang dianggap sebagai “mainan” anak muda, semakin bagus kendaraan yang mereka miliki, semakin tinggi-lah derajat sosialnya. Peran media (termasuk iklan) sangat berpengaruh membentuk pola pikir konsumtif dan menggiring manusia kedalam degradasi makna akan kehidupan yang dijalaninya. Apabila kita sampai tidak tahu dengan apa yang kita lakukan sekarang, apa bedanya kita dengan seekor monyet dalam rantai sang pawang ?

sekarang kita tengah memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana kita bisa memeroleh pahala dari ibadah wajib dengan mengerjakan ibadah sunah. namun yang menjadi sorotan utama, sejauhmanakah kita bisa memelihara konsistensi ibadah kita setelah ramadhan ? jangan sampai kita menjadi seperti monyet yang hanya bisa memeragakan gerakan ritual ibadah tanpa mengetahui makna dari ibadah tersebut… sama seperti monyet yang dipawangi untuk bersujud.

monyet sujud

seekor monyet tengah memeragakan gerakan sujud (detik.foto)

(MY)