Refleksi Kehidupan
‘sarimin pergi ke pasar’
Ya, kata-kata itu mungkin sudah tidak asing lagi di telinga anda, saat melihat pertunjukan seni doger/topeng monyet, baik pertujunkan keliling, festival budaya atau mungkin di persimpangan-persimpangan jalan. Monyet-monyet yang telah dilatih itu dipandu oleh sang pawang untuk menirukan aktifitas manusia diiringi ritme irama musik yang khas. Sebagian dari anda akan merasa terhibur melihat tingkah laku sang monyet atau merasa kasihan ketika melihat sang pawang menarik paksa tali besi di leher sang monyet.
Bila dilihat selayang pandang fenomena pergi ke pasar atau naik sepeda motor oleh ‘Sarimin’ adalah hal yang biasa saja, tapi pernahkah terpikir dalam benak anda, seni doger monyet bisa dianalogikan untuk mencerminkan kehidupan manusia zaman sekarang beserta budaya boros yang mengekang kehidupan manusia ?
Seekor monyet dikekang lehernya oleh pawang, lalu diharuskan melakukan berbagai tindakan yang sebenarnya tidak ia mengerti, sang monyet dilatih agar terbiasa untuk melakukan apa diperintahkan, kemudian sang pawang memberi upah, atau kadang memberi hukuman fisik yang cukup ‘sadis’ bila ia tidak mau menurut.
Manusia modern terkekang oleh pola hidup boros, dan tidak ada daya untuk melawan itu dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan, iklan-iklan produk yang ditawarkan ‘memaksa’ manusia untuk menggunakan produk tersebut walau mereka tidak membutuhkannya. Manusia modern mungkin sama seperti monyet, tidak tahu makna terhadap apa yang mereka lakukan, mencari kesenangan semu dan terbiasa akan hal itu. Manusia seakan merasa terasingkan atau dikatai ‘ketinggalan zaman’ bila tidak menggunakan suatu produk terbaru, walau tidak langsung dihukum secara fisik tapi secara tidak langsung terkucilkan dari lingkungan yang kekinian (pengguna produk).
Kita juga tidak bisa mengacuhkan ucapan sang pawang yang mengatakan ‘Sarimin pergi ke pasar’, lalu sang monyet pun secara spontan mengambil payung dan membawa keranjang belanja, mengapa kita tidak pernah mendengar ‘Sarimin pergi menabung’ atau ‘Sarimin pergi ke PMI’ ? seakan-akan tempat yang hanya dituju oleh ‘Sarimin’ itu hanyalah pasar, tempat kemungkinan besar kita menggunakan uang. Manusia modern digiring untuk memasuki suatu perilaku yang memungkinkan mereka untuk bersikap konsumtif/boros.
‘Sarimin’ biasanya memainkan alat musik atau memainkan motor mainan, bila kita bandingkan dengan potret remaja kita yang dipengaruhi oleh budaya luar yang lebih menyukai kesenangan (hedonisme), gitar bisa dijadikan suatu simbol dunia hiburan, yang memang sangat digandrungi oleh banyak anak muda saat ini sampai mereka kehilangan kendali atas diri mereka, ditambah dengan motor yang dianggap sebagai “mainan” anak muda, semakin bagus kendaraan yang mereka miliki, semakin tinggi-lah derajat sosialnya. Peran media (termasuk iklan) sangat berpengaruh membentuk pola pikir konsumtif dan menggiring manusia kedalam degradasi makna akan kehidupan yang dijalaninya. Apabila kita sampai tidak tahu dengan apa yang kita lakukan sekarang, apa bedanya kita dengan seekor monyet dalam rantai sang pawang ?
sekarang kita tengah memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana kita bisa memeroleh pahala dari ibadah wajib dengan mengerjakan ibadah sunah. namun yang menjadi sorotan utama, sejauhmanakah kita bisa memelihara konsistensi ibadah kita setelah ramadhan ? jangan sampai kita menjadi seperti monyet yang hanya bisa memeragakan gerakan ritual ibadah tanpa mengetahui makna dari ibadah tersebut… sama seperti monyet yang dipawangi untuk bersujud.
(MY)
weitss bahasana mulai beurat euy…..
kalo kata teteh mentor saya mah gini, “gpp ibadah dilakukan terpaksa pada awalnya, paksalah diri untuk tetap beribadah hingga beribadah itu menjadi sebuah kebutuhan, orang susah istiqamah itu udah biasa, sekarang pertanyaannya kamu mau jadi orang yang biasa aja ato yang luar biasa?”
iya sih teh hehe…
cuma ya, alangkah lebih baik manusia mengerti makna dari apa yang dilakukannya itu…
jarang banget loh teh saya ketemu ustad yang ngasih tau ke kita filosofi dari solat itu apa, tiap gerakannya mencerminkan apa
biasanya hanya di tataran solat itu kewajiban dan kita biasa tidak tenang kalau tidak solat karena kita biasa melakukanya dan menjadi kebiasaan
solat kan bukan kebiasaan… hehe
dan ibadah bukan hanya solat,, 🙂
sekarang udah banyak pelatihan tentang solat. Kata temen saya sih itu dijelasin gmana filosofinya dll. Waktu itu saya ga ikut full jadi cuma separoh (saparapat malah ) dan ga bisa menjelaskan lebih runut. Tugas berdakwah ga cuma ustad lhoo.
nanti deh kalo ada pelatihan lagi saya kasih info. Sementara nunggu info mungkin bisa baca bukunya pak Aam Amiruddin (saya lupa judulnya) ato googling juga udah banyak yang menjelaskan tentang ini.
Selamat memperbaiki diri… 🙂
*heh, kamu tutah teteh tutah teteh, sok muda :p
buku pak Aam, yang “pelatihan shalat khusyuk” bukan ? yang warnanya item ?
makasih ya teh 😀
*saya emang lebih muda yee