Syair Smong Simeulue : Mitigasi Tsunami Lewat Tuturan Kisah

Tersematnya Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire di jari Ibu Pertiwi membuat negeri gemah ripah loh jinawi ini dikuntit teror geologis sepanjang tahun.

Di tahun 2018, nyaris tiga ribu jiwa melayang akibat gempa dan tsunami. Teranyar, gelombang pasang meluluhlantakkan pesisir Banten dan Lampung yang dipicu material longsor aktivitas vulkanik Anak Krakatau.

Sedianya, berbagai macam upaya telah dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi jumlah korban. Salah satunya, dengan dengan memasang buoy atau alat pendeteksi tsunami. Namun, upaya itu tak cukup membantu.
Alasannya klise: “Vandalisme dan terbatasnya biaya pemeliharaan dan operasional” [Tempo.co].

Kemudian, dari sekian luasnya pesisir pantai di Indonesia hanya lima yang berfungsi dari 22 buoy. Miris!
Terobosan revolusioner memang diperlukan untuk mengurangi dampak bencana apalagi Indonesia memiliki wilayah pesisir pantai yang luas.

Namun alangkah bijaknya jika kita melihat kearifan lokal yang dimiliki warga Pulau Simeulue, Aceh : syair Smong Simeulue.

Pulau Simeulue sendiri terletak 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh, Lokasinya berada di persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yakni di lempeng Asia, Australia dan Samudera Hindia.
Syair Smong Simeuleu tak tercipta dari mimpi atau khayalan, namun merupakan kontemplasi guratan pengalaman pahit di masa lalu.

Pada 1907, smong atau tsunami melanda wilayah pemekaran dari Aceh Barat itu. Peristiwa dahsyat itu menelan banyak korban jiwa, rumah-rumah hancur dan harta benda raib tersapu gelombang.

Tak ingin peristiwa memilukan itu kembali terulang, warga Simeulue menciptakan syair Smong Simeulue yang dituturkan secara turun menurun. Entah siapa yang menciptakannya, namun syair ini sangat dikenali di sana.
Begini penggalan baitnya :

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).

Intisari dari syair tersebut yang disampaikan lewat adat tutur membuat warga yang tinggal beberapa meter dari tepi pantai waspada jika ada gempa besar.

Mengutip dari Mongabay-Indonesia, warga melihat hewan seperti kerbau atau yang biasa di tepi pantai, berlarian ke gunung.
Para pemuda dengan sigap melihat apakah air laut surut.

Ketika terdengar suara gemuruh seperti daun kering disulut api, yakinlah mereka bahwa smong akan datang. Berteriaklah mereka, “smong..smong..smong…” hingga ke berbagai penjuru desa.

Warga harus menyelamatkan diri ke gunung atau perbukitan, sambil membawa anak-anak, orang tua, dan sanak saudara.
Pun ketika tsunami dahsyat pada 2004 lalu, warga sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Dengan jumlah penduduk sekitar 78.000 jiwa, hanya tujuh orang yang tewas. Sementara di belahan Aceh lainnya, ratusan ribu jiwa melayang.

Tak heran jika Simeulue mendapatkan penghargaan Sasakawa Award dan ISDR (International Strategy for Disaster Reduction] karena kearifan lokal yang telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Syair Smong Simeulue menjadi bekal yang terus dijaga dan disampaikan orang tua kepada anak mereka dalam berbagai kesempatan.

Namun pertanyaanya, apakah kearifan lokal ini bisa diterapkan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia ? Bisa!
Alangkah baiknya dibuat dan diturunkan, di daerah rawan bencana geologis tanpa harus menunggu jatuh korban terlebih dulu. Salam Kemanusiaan!